UNTUK KALIAN, PARA PENDAKI YANG MENYEBUT DIRI PECINTA ALAM

Halo para pemburu puncak yang tangguh, apa kabar kalian? Semoga kalian selalu diberikan  kesehatan agar dapat menapaki puncak-puncak tertinggi ya. Apa kabar alam yang kalian sambangi saat ini? Masihkah indah dinikmati?

Beberapa saat lalu ada sedikit perdebatan di salah satu wadah pengembara di media sosial perihal sampah yang bertebaran di gunung. Ada beberapa orang yang kontra dan jelas-jelas menyalahkan orang lain(porter dan pemerintah) atas jejak sampah yang tertinggal begitu saja.  Ini membuat saya bingung, siapakah selain pendaki dan porter yang melewati jalur pendakian?

Sadarkah kalian para pendaki, bahwa alam ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk menjaganya? Tidak perlu kalian menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi dengan adanya sampah disana. Apakah kalian sadar sampah itu tidak lain dan tidak bukan berasal dari kalian sendiri?

Ya, saya memang bukan pendaki handal nan hebat dengan jam terbang tinggi seperti kalian yang mendaki gunung bagai candu. Tapi sebagai orang, ya katakanlah sudah senior, tidak kah kalian ingin membagi indahnya alam nan agung ini kepada orang yang belum bisa menjamah gunung, tempat favorit kalian? Perlukah dirusak dengan sampah yang kalian tinggalkan diatas sana?


Mendaki Gunung Demi Pamer Ucapan dan Nyampah#PendakiBeretikaFORUMHIJAU.COM – Hayo siapa diantara Sobat greener FHI...
Posted by Forum Hijau Indonesia on Wednesday, June 3, 2015


Saya pun mafhum, tidak semua pendaki seperti itu. Tetapi saya pikir setelah film yang judulnya tak sampai 5cm itu makin banyak orang yang ingin mendaki gunung dan tidak semua pendaki bisa bertanggung jawab apalagi menjaga alam. Bisa dikatakan, pendaki abal-abal. Asal mendaki agar diakui eksistensinya sebagai "pendaki". Teman-teman saya pun, yang memang sudah sepuh dalam mendaki, banyak yang mengeluhkan kotornya tepian Ranu Kumbolo karena para pendaki amatiran yang tidak tahu etika mendaki.

Tiket mas, bukan tikect. Jeep, bukan jeb lol.

Ini bukan soal pendapatan yang didapat dari tiket retribusi, tapi ini soal kesadaran diri dalam menjaga lingkungan. Janganlah kalian membawa cenderamata yang tak sedap dipandang untuk alam kita. Bawalah turun kembali jejak logistik kalian dengan menggunakan kantong sampah yang bisa kalian persiapkan sebelum mejamah gunung. Bukan hanya sampah logistik, tapi para pendaki abal-abal rela berlelah letih mendaki puncak hanya sekedar memamerkan kertas ucapan, lalu kertas itu ditinggalkan begitu saja. Sekali lagi, demi eksistensi!

“Gak ada tempat sampah di gunung, repot juga bawa-bawa sampah turun, seharusnya pemerintah bisa membuat fasilitas tempat sampah di gunung dengan menggunakan uang retribusi yang jumlahnya tidak sedikit”

WOW. Apakah begini tabiat seorang pendaki? Jangankan di gunung, di sekitar rumah kita pun banyak fasilitas sampah tapi masih saja orang-orang ajaib nan bodoh membuang sampah sembarangan. Tak heran bila ibukota kita ini sering dilanda banjir.

“Lalu kalau gak sembarangan mau dibuang dimana?”


WOW ini membuat saya tercengang. Ya sudahlah, kalau kalian terlalu lelah untuk membawa turun sampah kalian lebih baik tidak usah mendaki sekalian. Berarti kalian bukan pendaki yang sebenarnya dan tidak keren sama sekali.

Yang lucu lagi, saya dengar pendaki di Rinjani menyegel kantor TNGR karena mereka kesal dengan para pengelola yang tak becus mengurus sampah. Apakah kalian harus menyalahkan orang lain untuk sampah yang kalian produksi sendiri? Bukankah pendaki mengecap diri sebagai pecinta alam?

Kalau memang cinta harusnya bisa menjaga alam ini dengan membawa kembali sampah kalian, walaupun hanya langkah kecil tapi nyata. Jangan mengaku pecinta alam kalau kalian tidak bisa menjaga alam bahkan hanya bisa menyiksanya. Ingat, anak cucu kita pun nanti juga berhak menikmatinya.

Take only picture, leave only footprints :)
Previous
Next Post »