She had the ticket in her hand, but she refuse to take a ride.
Dia sengaja tak menghiraukan orang itu, walau dia tahu orang itu telah
memperhatikannya sejak lama, pastinya sejak dia pindah ke ke kosan barunya,
diseberang rumah pria itu. Dia memutuskan untuk pindah dan tinggal sendiri di
kosan karena, pertama, dekat dengan tempat kerja dan kampusnya, kedua, karena
dia sudah muak dengan pertengkaran kedua orang tuanya dan persiapan perceraian
mereka. (Ugh! That’s enough to makes me
going crazy!)
Berawal dari membantunya membawakan barang sampai ke kamar sewaannya,
pria itu langsung tertarik. Tapi dia tak bisa melakukan apapun, walaupun dia
anak dari pemilik kos-kosan ini. Dia hanya bisa memperhatikan dari jauh,
bagaikan sebuah bayangan. Memperhatikannya dari kamarnya yang tepat
bersebrangan dengan kamarnya. Dia tahu kapan wanita itu memulai aktifitasnya,
kapan dia akan keluar kamar, dan kapan dia akan kembali. (Like a stalker. Oh I mean he is a stalker.)
Berada di satu kampus, tapi berbeda jurusan, tak membuat mereka menjadi
jarang bertemu, hanya saja, wanita itu tak menyadari kehadiran pria itu yang
selalu memperhatikannya dari jauh. Pria itu sampai hafal dengan makanan yang
biasa di pesan wanita itu di kantin. Bahkan
dia juga tahu jadwal kuliah wanita itu. (What a Pro of a Stalker!)
Awalnya, wanita itu tak terlalu terpengaruh dengan kehadiran pria itu
di sekitarnya, yang akhirnya dia ketahui namanya adalah Ridwan, dia
membiarkannya, dan tak mengacuhkannya, tapi seorang temannya yang tertarik
dengan pria itu membuatnya cemburu! Cemburu karena pria itu dengan santainya
bisa berbincang dengan temannya, tapi tidak dengan dirinya, seolah pria itu
mengacuhkan kehadirannya di dekat pria itu. (this
makes me wonder about him! Why can’t he talk to me like that? And why did he
stalk me? Is it because of my friend who talks to him right now?)
Pria itu, tak tahu harus bertingkah seperti apa saat wanita itu berada
di dekatnya, jadi dia hanya bisa menyembunyikan perasaannya setiap kali wanita
itu datang bersama temannya, walau hanya untuk menyapa atau berbincang ringan. Pria
itu tak bisa menahan rasa yang berdebar tiap kali berada di dekat wanita itu,
jadi dia kebanyakan hanya diam dan tak banyak bicara. (Oh really? I can’t believe it!)
Wanita itu, dari jauh menahan emosinya ketika melihat pria itu berjalan
bersama temannya dan mengobrol seolah tak ada jarak, tapi saat wanita itu
berada diantara mereka, pria itu menjadi dingin dan seperti menghindarinya. Dia
marah dan membenci ketidak adilan ini. Dia marah pada dirinya sendiri karena
tak dapat menjadi seperti temannya yang bisa mengalihkan perhatian pria itu. (what? Jealous? What are you talking about?
No! No I’m Not!)
Tanpa wanita itu tahu, bahwa setiap malam, pria itu selalu menyempatkan
diri untuk pergi ke Seven Eleven tempat wanita itu bekerja sambilan, walau
hanya untuk membeli minuman dan makanan ringan lalu duduk disana untuk beberapa
menit, memperhatikan wanita itu bekerja dari jauh. Lebih sering menunggunya
hingga jam pulang wanita itu lalu menjaga wanita itu sampai ke kamarnya dengan
selamat dari belakang wanita itu. (Yeah,
He is a regular customer who came around the end of my shift, everyday. EVERY
SINGLE DAY!)
Wanita itu sudah terbiasa dengan kehadiran pria itu di belakangnya, dan
dia takut, temannya akan mengambil pria itu dari sisinya, walau wanita itu tak
akan melakukan apapun, dia takut pra itu berhenti berada disisinya, wanita itu
sadar akan perbedaan yang dia miliki, dan tak berani melewati batas yang ada
diantara mereka. (HEY! Don’t think too
much! I just.. I just… ugh! Whatever!)
Pagi ini, dimulai dengan mendengarkan lagu The Beatless - Michelle dari handphone pria itu, dia
menggunakannya sebagai alarm untuk membangunkannya. Betapa aneh, karena begitu
tahu nama wanita itu adalah Michelle, dia langsung menyukai lagu The Beatless
yang satu ini. Dan setiap hari dia akan mendengarkan lagu itu sambil
membayangkan dirinya menyatakan perasaannya pada Michelle. (Oh.. So sweet of him..)
Dan Michelle, sangat menanti hari ini, hari dimana pria itu akan
terlihat lebih bercahaya, lebih tampan dan lebih menarik dibanding hari-hari
sebelumnya, hari jum'at dimana dia akan pergi sholat jum'at bersama sahabatnya
menggunakan sarung dan baju koko. Michelle selalu meminta libur hari juma'at
agar bisa melihat pria itu keluar rumah dengan sarung dan baju koko yang sangat
rapih. Tapi penglihatan itu juga menggoreskan luka di hatinya, setiap kali
melihat pria itu berjalan menuju masjid, hatinya sedikit tergores. Suara adzan
terdengar jelas di kamarnya yang memang dekat masjid, dan pria itu selalu pergi
ke masjid tak lama setelah adzan berkumandang. Menyadarkannya akan jarak yang
semakin jauh dengan pria itu. Membuat jelas garis batas diantara mereka. (This is why I can’t hope for more…)
Ditengah kekecewaannya itu, seorang teman lama menyatakan cinta
kepadanya, Michelle tahu hubungan ini tak akan berjalan baik, tapi dia tetap
menerima perasaan temannya itu. Dengan harapan bisa melupakan perasaannya
dengan pria itu. She had the ticket... Dia punya tiket untuk memenangkan hati
pria itu, tapi dia menyerah di tengah jalan dan membuang tiket itu, bahkan
mengalihkan arah jalannya menjauh dari pria yang selama ini selalu
memperhatikannya. (I hope this would be
the best for both of us. –before it’s too late- hopefully)
Pria itu tahu hubungan Michelle dengan teman sekelasnya, hatinya
hancur, begitupun dengan harapannya. Kecewa atas sikap pengecutnya yang tak
berani mengungkapkan perasaannya dan hanya diam di belakang wanita itu,
memperhatikan dari jauh. Kecewa atas dirinya yang memang tak bisa mendekatkan
jarak antara dirinya dan wanita itu. Tak ada yang bisa dia lakukan lagi saat
ini selain menyerah. (I’m so sorry.. I need
to throw the ticket)
To be continue . . . .
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon