Perpustakaan



Cinta Tanpa Kenal

Perpustakaan dan selembar kertas bertuliskan sebuah pesan singkat, sudah cukup untuk membuatku terus mengingat sebuah kisah tentang pertemuan dan juga perpisahan yang memberi kesan mendalam hingga saat ini kepadaku, khususnya hatiku. Bila ku baca lagi pesan itu aku langsung dapat mengingat keseluruhan kisahnya.
“Tunggulah, aku pasti akan datang lagi, untukmu.”
Itulah kalimat terakhir yang tertulis pada kertas yang diberikan padaku setahun yang lalu dari seseorang yang telah memberiku sebuah harapan dan berhasil membuatku menunggu sesuatu yang tidak jelas seperti ini.
Saat itu hari sangat cerah dan aku datang ke perpustakaan seperti hari-hari sebelumnya. Sebuah kebiasaan baru untukku datang ke perpustakaan demi melepas jenuh dirumah. Kekakuan dan dingin langsung menerpaku saat aku memasukki pintu masuk perpustakaan, namun entah mengapa perasaan seperti itu malah memberikan ketenangan dan juga kenyamanan pada diriku.
Setelah mengambil novel yang ingin kubaca, aku duduk ditempat biasa. Semua terasa sangat biasa sampai dia datang. Dia adala pria tinggi dan bertubuh tegap, matanya tajam membaca sebuah buku besar ditangannya. Dia menutupnya dan mencari buku yang lain. Tanpa sadar aku telah memperhatikannya dan melupakan novelku sampai dia menoleh kearahku dan membuatku salah tingkah. Aku langsung menunduk dan berpura-pura membaca. Jantungku berdetak cepat dan aku merasa wajahku memerah seiring langkahnya yang semakin dekat ke meja di depanku. Dia berhenti tepat didepan meja dan melihat ke buku desain di meja itu. Fiuh.. untunglah, aku rasa aku terlalu pede. Dia menatap lembar pertama buku desain itu. Lamaaa sekali sampai aku ingin sekali mengusirnya dari teritoriku. Ini adalah tempat yang selalu kududuki selama sebulan ini, jadi aku akan merasa sangat terganggu kalau sampai ada yang memakainya.
Tapi yang dia lakukan berbalik dari yang aku harapkan. Dia menarik kursi dihadapanku dan duduk bersebrangan denganku. Refleks aku mengangkat kepalaku dan melihat dirinya yang sedang menatapku sambil tersenyum. Aku berusaha untuk tak acuh dan kembali membaca novel, padahal aku malu sekali dan  berharap dia segera pindah.
Anehnya, setelah beberapa lama dia duduk di hadapanku tidak sekalipun dia membalik halaman pertama itu. Padahal aku sudah membaca sampai lima lembar. Awalnya aku tidak perduli, tapi lama-lama aku penasaran. Setelah membalik lembar ketujuh, aku memberanikan diri mengangkat kepalaku dan melihat dirinya. Astaga! Betapa kagetnya aku saat mengetahui bahwa yang dia lihat bukan buku, melainkan aku. Dia tersenyum dengan sangat manis sambil mengedipkan sebelah matanya. Aku merasa sangat aneh, wajahku terasa hangat dan aku terus mencoba untuk tidak menghiraukannya. Aku kembali membaca novel yang ada ditanganku dan berusaha untuk benar-benar tidak perduli padanya.
Besoknya aku kembali ke perpustakaan pada waktu yang sama seperti hari sebelumnya, jam sembilan. Setelah mengambil novel yang kemarin belum selesai ku baca, aku duduk ditempat yang sama seperti kemarin. Tak lama ada seseorang yang juga duduk bersebrangan denganku. Tanpa melihat aku tahu bahwa itu adalah orang yang kemarin membuat jantungku berdetak tidak karuan sampai aku pulang. Aku bisa merasakannya begitu saja. Dia mengambil buku desain yang berbeda dari kemarin dan membukanya. Aku rasa kali ini dia benar-benar membacanya karena beberapa kali aku mencuri pandang ke arahnya.
Curi pandang yang singkat ini membuatku semakin penasaran pada dirinya dan ingin memandannya secara jelas. Tapi aku tidak berani, aku tidak ingin mengambil resiko ketahuan olehnya. Aku berusaha menahannya sampai jam dua nanti. Aku terbiasa dengan sesuatu yang terjadwal. Datang jam Sembilan dan pulang jam dua. Jadi begitu aku melihat sudah jam dua, aku langsung bangun dan pergi. Aku tahu dia memperhatikanku yang melangkah begitu saja, dan lagi-lagi aku berusaha untuk tidak menghiraukannya juga melangkah secepatnya pergi dari rasa aneh yang mulai muncul di hatiku. Aku tidak berani menyatakan bahwa ini merupakan cinta pada pandangan pertama, karena hal itu tidak masuk akal bagiku.
Sampai hari kelima kami tetap seperti itu, duduk berhadapan sibuk dengan buku masing-masing, kadang dia membawa binder dan mencatat sesuatu kadang dia hanya membaca, diantara kami tidak ada komunikasi apapun. Dia selalu datang sesaat setelah aku duduk, entah dia memang sengaja atau memang jadwalnya begitu. Kali ini dia terlambat sepuluh menit. Setelah duduk dia langsung membuka bindernya dan menulis sesuatu lalu menyodorkannya kepadaku.
“Menungguku?”
Aku melihat ke arahnya setelah membacanya. Dia tersenyum dan aku tak bisa menahan senyumanku lagi. Dia mengambil kertas itu dan menulis lalu menyodorkannya kepadaku lagi.
“Alif”
Aku melihatnya lagi, kali ini dia menunjuk dirinya.
Aku mengambil pulpen dari tangannya dan menuliskan namaku diatasnya
“Febri”
Dan itulah yang kami lakukan, berkomunikasi dengan surat. Mungkin terdengar kuno, kampungan dan konyol. Tapi aku suka, dan sepertinya dia juga. Kadang hanya dengan bertatapan mata kami bisa mengerti satu sama lain. Seperti aku memang sudah diciptakan untuknya. Aku tidak percaya hal yang tidak masuk akal seperti ini, tapi aku percaya takdir. Lagipula hal yang terjadi padaku ini memang tidak bisa disangkal walau dengan logika paling jernih sekalipun.
Sampai hari itu tiba. Dia datang dengan ekspresi suram mendekatiku dan duduk dihadapanku. Aku memperhatikannya, berusaha mengerti dirinya tapi seperti ada kabut yang menutupi pikirannya. Dia terlihat sangat gusar dan gelisah. Setelah menunduk beberapa lama, dia menatapku dalam.
“Maaf…” dia menarik nafas panjang “Besok… aku tidak bisa datang.” Dia bangun dan ingin beranjak, aku masih memperhatikannya “Tapi lusa aku akan datang lagi. Maaf.. aku pergi dulu.”
Aku terus, masih terus memperhatikan langkahnya yang ragu-ragu. Sebenarnya dia tidak perlu izin dariku, mengingat kami yang belum memiliki hubungan apapun. Aku pun hanya sekedar mengenal dirinya dan belum mengetahui tentang kehidupan pribadinya. Tapi kepergiannya itu membuatku cukup khawatir dan kehilangan. Mood membacaku hilang dan aku pulang lebih cepat dari biasanya. Dan mulai dari hari itu, dia mulai jarang datang dan sering terlambat. Bahkan kadang dia baru datang ketika aku akan beranjak pergi. Tak satu alasanpun dia berikan kepadaku tentang hal ini membuat mood ku semakin kacau.
Sudah lebih dari seminggu dia melakukan ini kepadaku dan aku putuskan untuk menanyakannya hari ini. Dia datang tanpa membawa bindernya tapi hanya selembar kertas. Dia duduk dan tersenyum yang terlihat dipaksakan dia terus menatapku, kemudian memberikan kertas yang dari tadi dia pegang. Aku langsung membacanya dan dia pun mulai beranjak pergi.
“Maaf, akhir-akhir ini aku bersikap aneh dan mungkin membuatmu khawatir. Aku hanya tidak tahu harus bagaimana menyampaikannya kepadamu saat perasaan yang ku miliki semakin kuat.
Aku mencintaimu. Sejak awal aku melihatmu di perpustakaan, kamu melewatiku begitu saja, tapi aku terus memperhatikanmu. Dan sejak duduk berhadapan denganmu membuatku semakin yakin bahwa perasaan cinta ini sudah merasuk ke hatiku sangat dalam. Tunggulah, aku pasti akan kembali lagi, untukmu. Tunggulah.”
Aku langsung mengejarnya begitu aku sampai pada kata terakhir. Aku menggapai tangannya dan dia berbalik. Aku menatapnya yang membalas tatapanku. Perlaan dia melepaskan genggamanku dan kembali memunggungiku.
“Aku… aku juga merasakannya dan aku akan menunggumu.”
Aku mengatakannya! Aku mengatakannya walau dia hanya berhenti melangkah sebentar dan kembali pergi tanpa menoleh kepadaku. Aku terus menatap kepergiannya sampai dia tak terlihat lagi. Hatiku terasa sangat sakit, dan lututku lemas. Aku memegang bangku didekatku agar tidak jatuh. Aku sangat sedih, terlalu sedih sampai tidak bias menangis. Aku menguatkan diriku dan kembali ke bangkuku. Terduduk lemas sambil memandang hampa kedepan, kearah bangku kosong dihadapanku. Kupejamkan mata berharap mimpi buruk ini segera berakhir, tapi semua ini nyata, surat itu masih berada di genggamanku. Sebuah kenyataan yang membuat kepalaku sakit dan lemas.
Berhari hari aku menunggunya kembali. Tak ada kabar, tak ada satupun yang bias membuatku tetap kuat selain sebuah harapan bahwa dia akan datang untukku. Aku terus menunggu sampai aku sudah lupa sudah berapa lama aku menunggu sampai hari ini, hari dimana harapanku semakin memudar. Kesabaranku untuk menunggunya semakin menipis. Aku kesal, sangat kesal pada diriku sendiri yang dengan bodohnya mau membuang waktuku untuk orang yang bahkan tidak aku ketahui latar belakangnya benar atau tidak, kesal dengan semua harapan palsu yang membuatku benar-benar menjadi orang yang tidak masuk akal! Aku memutuskan bahwa hari ini adalah hari terakhir aku menunggunya. Dengan semua sisa sisa harapan yang masih ada, aku masuk ke ruangan itu, melangkah perlahan di antara rak buku mencari novel selanjutnya yang akan aku baca. Aku berhenti tiba-tiba saat aku melihat ada seseorang yang sudah menduduki bangkuku. Dia menatapku dan tersenyum lalu berdiri. Aku terpana, seperti tersihir dan tidak bisa bergerak. Dia mendekatiku dan memegang tanganku.
Ya! Dia orangnya, dia yang telah membuatku menunggu. Dia yang telah berjanji akan kembali untukku. Alif. Dia mengangkat kedua tanganku dan menciumnya.
“Maafkan aku yang sudah membuatmu menunggu terlalu lama. Aku janji setelah ini aku tidak akan membuatmu menunggu lagi.”
Aku tak dapat berkata apa-apa saat merasakan kejujuran yang dia pancarkan dari matanya.
“I Love you, and I want to spend my entire life with you. Would you be my girl? My only women in my life?”
Aku sangat terharu sampai aku meneteskan air mata. Aku mengangguk begitu saja seperti tubuhku bergerak sendiri. Aku sudah keilangan kendali, ku piker aku sudah gila karena cinta ini membuatku gila!
Dan begitulah kisah ini berakhir. Sebuah romansa dari perpusakaan tentangaku dan dia. Setelah aku menerimanya, dia mengenalkan aku ke kedua orang tuanya. Dia menceritakan semua tentang kehidupannya. Kami banyak menghabiskan waktu diluar untuk mengenal lebih banyak tentang kami. Dan cinta yang tak dikenal kini sudah melekat pada hati kami yang membuat kami lebih mengenal tentang perasaan.

 

Sekian!
Previous
Next Post »