Mimpi Indah di dalam Mimpi Buruk
I’m so lonely
Nanda menghembuskan
nafas panjang setelah dia membaca lagi kalimat terakhir yang dia tulis di buku
diarynya. Perlahan dia tutup mata sambil menutup bukunya.
“Lonely?”
Suara orang itu mengagetkan dirinya dan membuatnya
hampir terjatuh.
“Why? You don’t need me anymore?”
“What? No! that’s not
what i mean. I… i…”
Orang itu duduk di pinggir kasur dan memandang Nanda yang kini
hanya duduk menunduk dan memainkan jari jemarinya.
“Kau mulai tak mempercayai bahwa aku akan selalu berada disisimu
selalu?”
Nanda hanya diam.
“Atau kau mulai bosan denganku?” tanya orang itu sambil menoleh ke jendela.
Hujan deras baru saja
reda, tapi badai di dalam rumah masih terus berlanjut, samar samar dia
mendengar kedua orang tuanya yang sedang bertengkar di bawah.
Saat mendengar kalimat
yang keluar dari mulut orang itu,
Nanda langsung mengangkat kepalanya dan memandang orang itu.
“Tidak! Aku tak
pernah bosan denganmu. Kau..kau adalah yang paling aku butuhkan.”
“Benarkah? Lalu apa maksud kalimat yang baru saja kau tulis itu?”
“A.. aku… entahlah…”
“Apa kau sudah tak membutuhkanku? Atau kau merindukan kakakmu yang
bejat itu? Atau…”
“Tidak! Tolong,
jangan buat aku tambah bingung.”
Orang itu bangkit dan berdiri di hadapan Nanda yang memandangnya
dengan air mata yang hampir jatuh.
“Kau hanya membutuhkanku, Nanda, apakah hanya aku tak cukup bagimu?”
Orang itu mengusap pipi Nanda yang kini mulai basah karena air mata
yang tak bisa lagi dia tahan.
“Aku, aku akan selalu berada disisimu, Nanda, tak peduli apapun.”
“Tapi… tapi kau tak
ada di sekolah, kau hanya menemaniku saat dirumah. Dan….”
Nanda menutup matanya
dan menunduk, tak bisa lagi dia tahan tangisannya.“Dan… dan mereka bilang kau
tak nyata. Mereka bilang kau hanya bagian dari imajinasiku, mereka bilang…”
“Sshhh… Nanda, lihat aku..” orang
itu mengangkat dagu Nanda dan membuatnya menatap orang itu. “Aku ada disini
sekarang, di depanmu, apa itu tak cukup bagimu?”
Nanda hanya memandang
orang itu, yang lalu mengusap wajah
Nanda dan memeluknya.
“Tenanglah, Nanda, ini akan segera berakhir. Semua akan jadi lebih
baik.”
Nanda membalas
pelukan orang itu, dan kembali
menangis. Orang itu terus menenangkan
Nanda dengan kehangatannya dan kata-kata lembutnya.
Nanda terbangun
mendengar alarm di mejanya, dia mematikannya dan memandang orang itu yang berada di depannya. Dia mengusap wajah orang itu dengan lembut sambil terus
memandangnya.
“Good morning, sunshine.” Kata orang
itu lalu dia membuka matanya, membalas tatapan Nanda.
Nanda bangkit dari
tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk bersiap ke sekolah. Dia tak ingin
terlambat dan mendapat masalah lagi, dari kakaknya, dari orang tuanya, dan dari
sekolah. Sudah cukup badai di rumahnya yang hampir tak pernah berhenti
membuatnya merasa tertekan. Setelah selesai dengan kebutuhannya, dia keluar
dari kamar mandi dan mendapati kasurnya telah kosong, tak ada tanda-tanda dari
orang itu, membuatnya cukup kecewa. Dia lalu mengambil tasnya dan langsung
keluar kamar yang disambut dengan sikap dingin dari keluarganya. Ayahnya sudah
berangkat pagi-pagi sekali, ibunya sedang sibuk dengan dirinya sendiri, dan dia
melirik kakaknya yang kini menunggunya di depan pintu untuk berangkat bersama.
Nanda mengambil bekal
makannya di meja makan dan menuju pintu keluar tanpa mengucapkan sepatah
katapun. Dia rindu dengan kehangatan keluarganya yang rasanya sudah lama sekali
sampai dia hampir lupa bagaimana rasanya. Ayahnya mulai jarang pulang, dan
sekalinya pulang, hanya akan bertengkar dengan ibunya, yang kini juga sangat
jarang berinteraksi dengannya dan menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Hanya
tinggal kakak satu-satunya, namun itu tak membantu, karena kakaknya juga jarang
berbicara kecuali….
“Kau mengacuhkanku?”
kata kakaknya saat mereka baru keluar rumah. Kakaknya menarik lengan Nanda dan
memaksanya untuk menatapnya. “Kau berani mengacuhkanku, Nanda?”
Nanda tertunduk, tak
berani melawan pegangan kakaknya yang menyakiti lengannya.
“Tidak kakak, maafkan
aku, ibu…”
“Oh, benar, ada ibu
dirumah,” katanya mulai merenggangkan pegangannya “Tapi kan bukan berarti kau
harus mendiamkan aku seperti tadi. Tak bisakah kau tersenyum padaku?”
“Maafkan aku kakak.”
“Terserahlah.” Kata
kakaknya lalu mulai menarik Nanda menuju mobilnya.
Setelah sampai didepan
sekolahnya, mobil berhenti tapi kakaknya belum membuka kunci.
“Ingat pesanku
Nanda.” Katanya dengan nada mengancam sambil menarik dagu Nanda dan membuatnya
bertatapan.
“I.. iya kak, aku
selalu ingat.”
“Good girl.” Kata
kakaknya kemudian mereka melalukan ritual mereka tiap pagi setelah itu kakaknya
membuka kunci dan Nanda langsung keluar dari mobil.
Di sekolah, Nanda
hampir tak punya teman, bahkan memang tak ada yang diakui sebagai temannya. Dia
tak pernah bicara dengan siapapun kecuali saat ditanya oleh guru, atau saat
keadaan mendesak, dan dia akan lebih sering menggunakan isyarat atau diam. Dia
selalu mengurung dirinya sendiri, saat bel istirahat, dia akan bersembunyi di
perpustakaan atau di gedung belakang sekolahnya. Menikmati bekalnya atau hanya
diam memandangi langit dan menikmati angin. Kadang orang itu akan datang dan menemaninya, namun lebih sering Nanda
menghabiskan waktunya sendirian.
Saat pulang sekolah,
Nanda menyandarkan kepalanya di jendela bus yang dia tumpangi, perlahan jarinya
menelusuri bekas luka di pergelangan tangannya, yang dia sendiri tak tahu
bagaimana dia mendapatkannya. Juga jejak luka di sepanjang lengannya yang beberapa
masih terasa sakit jika dia menyentuhnya terlalu keras. Dia menutup matanya dan
terus menelusuri lengannya, mencoba mengingat bagaimana dia bisa mendapatkan
luka itu, walaupun tak mendapatkan hasil. Setelah turun dari bus, dan berjalan
menuju rumahnya, dia terus berharap kakaknya belum sampai dirumah.Dia sedang
tak ingin berurusan dengan kakaknya hari ini. Dan itu adalah harapannya setiap
hari setiap pulang sekolah walau akhirnya dia akan tetap berurusan dengan
kakaknya yang aneh itu.
Sampai di rumah, dia
bersyukur karena tak ada tanda-tanda kakaknya, bahkan memang tak ada siapapun
dirumahnya, dia langsung menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Di kamar dia
disambut oleh senyuman orang itu yang
berdiri di belakang jendela.
“Bagaimana harimu?”
“Seperti biasa.Membosankan.”
“Itu karena aku tak bersamamu kan? Hehe”
Nanda mengangguk
sambil tersenyum dan memeluk orang itu.
“Kau masih tak bicara dengan siapapun hari ini?”
Nanda melepas
pelukannya dan menunduk lalu menggeleng perlahan.
“Kakakmu masih melarangmu bicara?”
Nanda mengangguk.
“Kenapa tidak kau coba untuk melawannya? Cobalah bicara, mengobrol
dengan temanmu, berinteraksi.”
Nanda menggeleng.
“Aku tak ingin kakak
marah, dan… aku sudah terbiasa, mereka juga sudah terbiasa. Aku merasa tak ada
yang perlu dibicarakan.”
“Benarkah? Itukah kata hatimu yang sebenarnya Nanda?”
Nanda hanya diam dan
mengalihkan pandangannya.
“A.. aku harus
berganti baju sebelum kakak pulang.”
Dia lalu meninggalkan
orang itu dan menuju lemari dan kamar
mandi.
Saat Nanda keluar
dari kamar mandi, orang itu sudah
pergi lagi, meninggalkan Nanda bersama kehampaan di rumahnya yangn cukup besar
itu. Juga kesepian yang selalu menaungi isi rumah itu. Perlahan dia menuju
kasur dan membanting tubuhnya kesana. Lama dia memandang langit-langit kamarnya,
mendengarkan kesunyian yang bersenandung disekitarnya. Sampai suara deru mobil
masuk ke halaman rumah menyadarkannya dan membuatnya langsung bangkit dan
menuju jendela, sadar bahwa kakaknya sudah pulang, dia keluar kamar dan menuju
ke dapur untuk menyiapkan makanan.
Nanda sedang
memanaskan makanan saat kakaknya tiba dan memandanginya dari pintu dapur.
“Ka.. kakak mau makan
sekarang atau nanti?” tanya Nanda sat dia menyadari kakaknya sudah berada
dibelakangnya.
“Hmm.. menurutmu?”
“Apa kakak lapar?”
“Sangat lapar hingga
aku ingin memakanmu langsung.” Jawab kakaknya sambil mendekati Nanda.
Nanda terpaku saat
jari kakaknya menyentuh rambutnya dan berdiri di belakangnya.
“Aku ingin memakanmu,
menikmati setiap inci di tubuhmu.” Bisik kakaknya sambil mengusap wajah Nanda
yang mulai gemetar.
Tiba tiba kakaknya
melepasnya dan mundur.
“Aku akan mandi,
begitu aku selesai, kuharap makananku sudah siap diatas meja.” Katanya sambil
tersenyum.
Kakaknya menepuk
pelan kepala Nanda lalu pergi menuju kamarnya.
Setelah tak lagi terdengar
suara langkah, Nanda menghembuskan nafas yang tanpa sadar dia tahan semenjak
kakaknya menyentuhnya.
“Apa kau tak bisa melawannya walau sekali?”
Suara orang itu mengagetkan Nanda. Dia
langsung berbalik dan mendapati orang itu
sedang duduk bersandar di kursi dibelakangnya.
“Kau tahu aku tak
bisa melawan kakakku.”
“Tak bisa atau tak berani?”
Nanda terlihat agak
kesal dan berbalik, melanjutkan pekerjaannya, menyiapkan makanan untuk kakaknya
tanpa memperdulikan orang itu.
“Kau mengacuhkanku. Nanda, apa kau kesal padaku?” tanya orang itu.
“Tidak, aku tidak
kesal.Kau tahu jawabanku, mengapa masih bertanya?”
“Baiklah, jadi kau kesal padaku.Maafkan aku.”
“Maaf diterima.”
“Nanda, aku benar-benar minta maaf.”
Nanda menghembuskan
nafas panjang, dan kembali menoleh pada orang
itu lalu tersenyum.
“Kapan aku bisa marah
padamu? Kau tahu itu.”
Orang itu tersenyum lebar. Nanda kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Seandainya aku bisa melindungimu, akan kulakukan apapun, Nanda.”
“Kau tak perlu
melakukan apapun, dengan kau berada disini, itu sudah lebih dari cukup bagiku.”
“Nanda… maafkan aku.”
“Tak ada yang perlu dimaafkan.”
Lama mereka tidak
bicara dan hanya terdengar suara masakan matang, dan dipindahkan ke piring oleh
Nanda.
“Terima kasih, Nanda.”
“Aku tak pernah memberimu
apa-apa, untuk apa berterima kasih?”
“Dengan membiarkan aku tetap tinggal disisimu, aku sangat berterima
kasih.”
“Tidak, aku lah yang
seharusnya berterima kasih. Karena kau masih mau menemaniku.”
“Nanda.”
“Tidak, dengar, kau
berada disini, merupakan anugrah bagiku, kau mau menemani orang kotor
sepertiku, mendengarkan ceritaku, menenangkanku, itu adalah hal yang tak bisa
ku balas, terima kasih banyak.”
“Nanda…. Kau tahu aku sangat mencintaimu kan?”
Nanda menoleh pada orang itu, mengangguk sambil tersenyum.
Nanda menaruh makanan
di meja dan menyusunnya, begitu selesai, dia memandang orang itu sambil tersenyum.
“Kau tahu aku juga
mencintaimu.”
Orang itu tersenyum memandang Nanda.
Suara langkah
terdengar dari luar dapur, Nanda langsung menoleh pada pintu, takut kalau
kakaknya melihat orang itu bersamanya
di dapur. Nanda langsung berbalik merapihkan meja dapur lalu membuka apronnya
lalu melipatnya. Tepat sat dia menaruh apron di laci, kakaknya masuk dan
langsung mendekatinya.
“Apa makananku sudah
siap?” tanyanya.
Nanda menegakkan
tubuhnya dan berbalik melihat kakaknya.
“Su..sudah ku siapkan
di meja kak.” Jawab Nanda.
Kakaknya tersenyum
kemudian duduk di kursinya.
“Kau tahu apa yang
harus kau lakukan selanjutnya kan, Nanda?”
“Ta..tapiii…”
Kakaknya menoleh dan
menaikkan satu alisnya memandang Nanda.
“Ba..baiklah..” Nanda
berbalik dan melangkah, namun kakaknya memegang tangannya, menghentikannya.
“Kau mau kemana?”
“Ka… kamar?”
“Nope, kita lakukan
disini.”
Nanda kaget mendengar
perkataan kakaknya, hampir tak percaya.
“Ta..tapi ibu…”
“Ibu akan pulang terlambat malam ini, begitu juga
dengan ayah.”
Nanda terlihat sangat
gugup hingga dia menggigit bibirnya dan memainkan jarinya. Kakaknya menarik
tangannya untuk mendapatkan perhatian Nanda kembali.
“Ayolah, aku bosan. Sini
duduk.”
“Ta… tapi kak…”
“Tapi apa?”
“Uhhmmm….” Nanda
menoleh ke samping, di ujung matanya, dia bisa melihat orang itu berdiri, bersembunyi di balik pintu, memandanginya,
mengharap Nanda bisa melawan kakaknya.
“Kau tak ingin
melakukannya? Benarkah? Nanda?”
Nanda menunduk dan
kembali menggigit bibirnya.
Kakaknya mendekatinya
dan berbisik “Jangan menggodaku, Nanda.”
Nanda langsung mengangkat
wajahnya dan memandang kakaknya yang kini tersenyum penuh makna.
“A.. ak.. aku ..aku
ingin ke toilet dulu kak, boleh kan?”
Kakaknya bersandar di
kursinya dan melepas tangan Nanda.
“Baiklah, jangan
lama-lama, kau tahu aku tak suka menunggu.”
Dengan kata terakhir
terucap dari bibir kakaknya, dia langsung berdiri dan berlari menuju ke
kamarnya.
Begitu sampai di
kamar, dia langsung berlari ke kamar mandi, membuka laci dan mengambil pil
kemudian meminumnya. Setelah itu dia mencuci mukanya, membersihkan dirinya dengan cepat. Sebelum akhirnya dia
kembali kebawah dan menuju ke ruang makan.
Begitu sampai, kakaknya sudah selesai makan dan
sedang minum. Melihat Nanda kembali, senyumnya menyeringai lebar seiring
langkah Nanda yang semakin dekat.
“Well, saatnya makanan penutup, Nanda...”
Nanda masuk ke kamar dengan tenaga yang
hampir terkuras, rambutnya berantakan, nafasnya tersengal, bajunya sudah
acak-acakan. Dia bersandar
pada pintu begitu ia menutupnya, mengusap kedua matanya dengan telapak
tangannya yang kotor. Berusaha menahan air matanya untuk tidak menetes. Dia
terlalu lelah, tapi dia harus mandi. Perlahan, dia beranjak ke kamar mandi
walau rasa kantuk sudah menyerangnya akibat kelelahan. Tubuhnya sakit, jiwanya
terluka. Merasa kebas di beberapa bagian tubuhnya hingga dengan terpincang dia
berhasil sampai di kamar mandi dan langsung duduk di bathtub begitu dia selesai
membuka bajunya. Dia memejamkan mata, mencoba menikmati seitap tetes air yang
menyiraminya. Mengharapkan air itu dapat membersihkan tubuhnya yang dia rasa
sangat kotor dan menjijikan, juga menghilangkan bekas bekas yang telah
dilakukan kakaknya pada tubuhnya.
“Maafkan
aku...”
Nanda menoleh pada orang itu yang kini
berdiri di depan pintu kamar mandinya. Perlahan orang itu menutup pintu dan
menuju Nanda yang kini bersandar pada dinding bak mandinya. Air hangat merendam
tubuhnya, setelah beberapa lama dia membiarkan air mengucur ke tubuhnya, dia
bangkit dan menyalakan air hangat dan menyiapkan untuk berendam. Dia merasa sangat
membutuhkannya. Masih berharap untuk air itu membersihkan seluruh tubuhnya,
menghapus sisa rasa yang masih menempel pada beberapa bagian tubuhnya.
Orang itu bersimpuh di sebelah bak mandi
Nanda dan menatapnya dengan penuh air mata.
“Maafkan
aku yang tak bisa melindungimu. Maaf...”
“Ssshhh.. kau tak bersalah. Mungkin aku
mulai terbiasa dengan ini semua.”
“Tidak!
Kumohon, jangan biarkan dirimu terbiasa... kumohon..”
Nanda menggeleng dan tersenyum sedih.
“Aku akan mulai terbiasa, dan akan
menikmatinya seperti dia menikmatiku.”
“Nanda...
kumohon...”
“Tak apa, aku tak apa apa, jangan meminta maaf. Itu
bukan salahmu.”
“Nanda...
kumohon, keluarlah dari jeratnya. Lawan dia, jangan biarkan dia melakukan hal
ini padamu.”
Nanda menggeleng dan mengusap wajah orang
itu dengan tangannya yang basah.
“Aku tak apa-apa.”
“Tidak!
Aku tak bisa menerima ini, Nanda. Kita harus bertindak. Aku tak akan membiarkan
hal ini berkelanjutan.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan? Kita
tak bisa apa-apa.”
“Bisa.
Kita bisa.”
Dengan kata terakhir itu, orang itu keluar
dari kamar mandi, meninggalkan Nanda yang masih tak tahu harus apa. Nanda
kembali bersandar dan memandang langit-langit. Menghembuskan nafas panjang dan
berharap semua ini akan segera berlalu. Dia melirik lagi bekas luka di
pergelangan tangannya.
“Apa lagi yang bisa kulakukan untuk
menghentikan ini semua?” bisiknya pelan.
“Kurasa sudah cukup istirahatnya.”
Suara kakaknya mengagetkan Nanda yang
langsung berbalik dan mendapati kakaknya sedang bersandar di pintu kamar
mandinya. Nanda terperangkap, tubuhnya semakin bergetar di saat langkah
kakaknya semakin dekat dengan dirinya.
Nanda memandang horror orang
itu yang kini memegang pisau dan menyeringai di depan Nanda.
“Sudah saatnya kuhentikan ini semua, Nanda.”
“Tidak…
tidak, kumohon, jangan….”
“Aku tak ingin kau semakin terluka,
mengertilah, Nanda…”
“Tidak!
Bagaimanapun, dia adalah kakakku.. keluargaku… kumohon…”
“Sudah terlambat!”
Orang itu menghambur keluar dan menuju
kamar kakaknya.
“Tidak!
Kumohon jangan!”
Orang itu tak menghiraukan Nanda dan
membuka pintu kamar kakaknya dengan paksa dan langsung menusuk kakaknya dengan
pisau di tangannya. Nanda berteriak keras, ketakutan dengan pemandangan di
hadapannya. Dia terduduk lemas saat melihat darah menetes dari tubuh kakaknya
dan tangan orang itu yang kini
menyeringai menatap mata kakaknya yang kini menatap tak percaya.
“K…
kau….” Kakaknya tak berhasil meneruskan kata-katanya dan jatuh tersungkur di
depan orang itu yang kini tertawa
lepas.
Setelah
Nanda mendapatkan kembali tenaganya, dia berdiri dan saat ingin turun, dia
berpapasan dengan ibunya di tangga. Dia sangat kaget hingga tanpa sengaja
mendorong tubuh ibunya sampai terjatuh dari tangga. Dia bertambah panik saat
melihat tubuh ibunya tak bergerak dan darah keluar dari kepalanya. Tubuh Nanda
bergetar hebat, dia hampir kelhilangan akalnya. Tapi dia masih sanggup berjalan
ke tempat telepon dan langsung menghubungi ambulance. Dengan terbata-bata dia
meminta pertolongan, memanggil mereka untuk segera datang. Dan setelah telepon
di putus, dia duduk lemas di sebelah tubuh
ibunya. Dia masih bergetar hebat, saat orang itu datang mendekatinya.
“Semuanya sudah berakhir.”
Tidak! Ini semua hanya mimpi buruk!
Ini semua hanya mimpi!
Mimpi buruk!
Ini semua adalah mimpi buruk!
Dan aku akan segera bangun dari mimpi buruk
ini!
Ini semua tak nyata!
Ini semua mimpi buruk!
Mimpi buruk!
Aku akan segera bangun!
Aku pasti akan segera bangun!
Kakakku masih hidup!
Ibuku masih hidup!
Mereka masih hidup!
Ini semua hanya mimpi buruk!
Mimpi buruk!
Mimpi buruk!
Aku harus segera bangun!!!
***
Aku menutup buku
diary yang diberikan oleh petugas dihadapanku, yang dari tadi menungguku
menyelesaikan bacaanku. Aku menaruh buku itu di meja dan memandangnya.
“Sudah selesai?”
katanya
‘Ya, lalu apa
hubungannya semua ini denganku? Aku tak mengerti maksudmu, Suster.”
“Kau mengenal
Nanda?”
“Tidak. Ini hanya
fiktif kan?”
“Ini kisah
nyata, ditulis sendiri oleh Nanda. Kau yakin tak mengenalnya? Termasuk ‘orang
itu’?”
“Tidak. Dan apa
hubungannya denganku?”
Petugas itu
mengeluarkan sebuah lukisan dari tasnya dan memperlihatkanya padaku.
“Itu, adalah
lukisan Nanda, yang dia gambar sebelum dia menuliskan kisah ini.”
Dan melihat
gambar itu bagaikan tamparan keras di wajahku dan menyadarkanku dari tidur
panjangku.
“Kau masih yakin
tak mengenalnya? Queen?”
Aku menggeleng pelan
sambil terus memandang lukisan di tanganku. Lukisan dengan wajahku yang
tersenyum sambil menatap cermin. Di ujungnya dia menulis judul
lukisan itu, “Orang itu”. Jantungku berdegup
sangat kencang hingga aku tak tahu jika memang berdetak atau sudah berhenti
berdetak. Aku tak dapat merasakan nafasku, aku merasa kebal. Kepalaku serasa
berputar, semuanya tampak samar, wajah petugas itu mulai rabun kulihat, aku tak
tahu lagi siapa aku.
Siapa aku sebenarnya?
Tidak! Tidak!
Tidak! Ini semua hanya mimpi buruk!
Ini semua hanya mimpi!
Mimpi buruk!
Ini semua adalah mimpi buruk!
Dan aku akan segera bangun dari mimpi buruk
ini!
Ini semua tak nyata!
Ini semua mimpi buruk!
Mimpi buruk!
Aku akan segera bangun!
Aku pasti akan segera bangun!
Kakakku masih hidup!
Ibuku masih hidup!
Mereka masih hidup!
Ini semua hanya mimpi buruk!
Mimpi buruk!
Mimpi buruk!
Aku harus segera bangun!!!
Quinsha Nanda
25.02.2007
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon